Minggu, 29 September 2013

HIDAYAH

Semula hari begitu cerah, biru yang berawal dengan sisi timur yang berona merah. Namun semua berubah ketika awan hitam menguasai langit yang gelisah. Perlahan menetes titik-titik yang kemudian membuat segalanya basah. Ini hujan, ini berkah, namun mengapa masih banyak orang yang berlari sambil marah-marah? Entahlah.
Hujan yang rintik-rintik berubah menjadi begitu deras. Nampak seperti singa kelaparan yang menelan segalanya dengan buas, menelan segalanya dalam kebasahan. Semuanya berlari dan berteduh. Semuanya, burung-burung, kambing, tukang parkir, penjual batagor, para pengendara motor, dan aku.

Aku terjebak di emperan sebuah ruko dalam hujan yang entah kapan berakhir. Lapar, tentunya menghantui perutku yang semenjak pagi belum juga diisi. Lelah, sudah jadi kewajiban bagi pelajar yang belajar dengan serius. Pulang, makan, kemudian beristirahat, itu semua yang bisa ku pikir. Tapi hujan ini tak kunjung berakhir.

Pagi yang cerah telah melenakanku, membuatku berpikir bahwa hari akan selamanya cerah. Payung yang selalu ada di satu sisi pintu terabaikan begitu saja. Kutapakkan kaki keluar dari pondok pesantren dengan niat menuju rumah sambil tersenyum, terbayang bahwa aku akan terus menapakkan kaki sambil tersenyum hingga ke rumah. Tapi hujan ini benar-benar bedebah, datang tiba-tiba dan menebar berkah tidak pada saat yang ku harapkan.

Bagaimana aku bisa sampai ke rumah? Haruskah aku berjalan terus menembus hujan dan membiarkan sekujur tubuhku ditelan dingin yang mungkin saja akan membuatku sakit? Payung, aku benar-benar membutuhkannya kali ini. Tubuhku ini tak bertambah kuat meskipun dua tahun sudah aku belajar berdisiplin di pondok pesantren.

Benar saja, selulus sekolah dasar, kedua orangtuaku sepakat untuk menyerahkanku ke pondok pesantren. Mereka berdua berada pada titik dimana kesibukan dan kasih sayang mereka padaku timbal balik. Ditengah kesibukan mereka berdua mencari nafkah, mereka tak ingin membuatku terabaikan dan tak mendapat cukup perhatian. Mereka takut aku akan jatuh pada lubang pergaulan yang salah. Mereka tak ingin anak tunggal mereka menjadi satu dari sekian remaja yang terombang ambing dalam ketidak jelasan masyarakat. Maka pesantren menjadi pilihan yang jelas.

Beberapa tokoh ternama pernah menimba ilmu di pondok pesantren itu. Kondusifitas lingkungannya untuk melatih akhlak dan kedisiplinan santri-santri sudah menembus tingkat provinsi. Banyak insan-insan muda yang sengaja dikirim dari jauh untuk menempa diri disana, berharap mereka akan menjadi senjata yang baik untuk menyebarkan dakwah pada umat manusia. Banyak orang tua memilih menyekolahkan anaknya disana, mungkin karena ingin mendapatkan anak saleh yang akan terus mendoakan mereka setelah mati, mungkin untuk kebaikan umat, atau mungkin sengaja melepas tangan dari tanggungjawab mengurus anak di rumah.

Terlepas dari reputasi baik dan betapa disiplinnya, pesantren tetap saja pesantren, bukan sekolah negeri dimana setiap siang aku bisa kembali ke rumah lalu memeluk guling setelah menyantap masakan ibu. Pesantren tetap saja pesantren, memberi jarak pada rumah hingga bunga-bunga rindu rumbuh dan berkembang. Rindu untuk rumah, hal yang mungkin saja tak ada pada anak-anak seusiaku. Rindu-rindu itu kadang meledak-ledak hingga air mata terkadang menetes di karpet tempat santri-santri mengaji di malam hari.

Bunga-bunga rindu itu perlu ku petik agar durinya tak terlalu menyayat hati. Untuk itu, di setiap ada kesempatan, di hari Jumat, atau libur pesantren lainnya, aku pulang. Seperti halnya hari ini, aku pulang. Tapi karena hujan ini, aku disinni, terjebak dalam ketiadaan payung disisiku. Aku hanya ingin pulang.

Plok. Sebuah tangan hinggap di pundakku. Gundah, gelisah yang sedikit basah sekejap redup dalam luapan keterkejutanku.
“Salsa... hampir saja kau membuat jantungku lepas.”
Seorang teman baik dari pondok pesantren berdiri sambil menyodorkan sebuah payung ke arahku. Payung yang terlipat dan masih kering. Disampingnya tergeletak sebuah payung lain, payung yang basah. Dia tak banyak berkata, mungkin dingin membuatnya merinding dan kesulitan berkata.
Dia tak banyak berkata, hanya senyum dan tatap mata. Tapi itu saja sudah cukup. Itu saja sudah menyampaikan semuanya. Aku tahu bahwa payung itu, kau yang memberinya.

Seperti beberapa hari yang lalu ketika aku kehilangan kunci rumahku, sehari sebelum aku pulang. Salsabilla kemudian datang dan menyodorkan kunci itu. Dia hanya tersenyum sambil menunjuk satu arah dengan matanya. Di arah yang ditunjukkannya, aku melihatmu. Kau berdiri di kejauhan, namun aku tahu kau melihatku, tentu saja dari kejauhan.

Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi sekali. Bukan juga dua kali. Kejadian macam ini terjadi berkali-kali. Aku dalam kesulitan dan kau datang. Aku hilang dan kau temukan. Aku kemudian yakin bahwa kau selalu ada. Mungkin tak disini namun kau melihatku, dari kejauhan.

__

Sungai yang mengalir. Hujan yang menyisakan dedaunan tetes-tetes air. Jagar raya tak berhenti berzikir.

Kau menunjukkanku jalan menuju kebun di hatiku, kebun di mana berbagai pohon dengan berbagai buah yang memiliki segala rasa tumbuh dan berbuah dengan suburnya. Kau menunjukan segala buah yang lezat, buah-buah dengan rasa kasih dan sayang. Kau juga yang selalu melarangku memakan buah-buah beracun, buah dengan rasa dengki, iri, dan prasangka.

Namun pada akhirnya kau sisakan sebuah pohon dengan buah yang entah itu baik atau buruk. Buah itu terlanjur ku makan. Buah itu buah rindu.

Rindu itu kamu. Bukan. Rindu itu rasa yang Tuhan hembuskan ke hatiku setiap saat aku mengingatmu. Rindu itu angin semilir yang perlahan menyayat imanku yang lemah setiap hari, setiap menit, setiap waktu.

Kamu yang memperkenalkan aku pada lelaki. Kau membuatku merasa menjadi wanita walau kau yang selalu ingatkan aku bahwa semua belum saatnya. Aku gadis kecil yang berjalan beriringan dengan waktu. Aku gadis kecil yang kemudian menemukanmu tak lagi di sekitarku.

Mesir itu penuh padang pasir, itu yang ku pikir. Namun tak ada bedanya pasir dan air, tiap butirnya tak pernah lupa berzikir. Hal yang ku risaukan bukan kilafnya pasir, melainkan kilafnya manusia.

“Apa benar kau harus pergi?” tanyaku padamu yang hanya datang untuk berpamitan.
“Benar, merupakan tanggungjawab kita untuk terus mencari dan memanfaatkan ilmu di dunia ini.” Jawabanmu terlalu diplomatis, rasanya penuh pemanis. Nada bicaramu lembut namun terdengar sadis, mataku tak bisa lagi menahan tangis.

Mataku yang mulai berkunang-kunang tak berhenti memandangmu. Walau yang kulihat hanyalah matamu yang terus menatap segala hal kecuali aku, aku tetap menatapmu. Dari sinar matamu, aku bisa melihat betapa bulat tekadmu. Kau bahkan tak berani menatapku karena tekadmu itu. Perempuan macam apa aku ini bila menghancurkan tekad bulat lelaki yang kucintai? Maka ku relakan kau pergi. Aku tak rela pun, kau tetap pergi.

“Aku akan menunggumu.”
“Jangan.”
“Kenapa?”
“...”
“Kenapa?”
“Harimu masih pagi, apa kau akan menanti sore hanya untuk menunggu ketidak pastian dariku?”
“Iya.”
“Jangan, aku mungkin tak akan kembali.”
“Aku tetap menunggumu.”
“Jangan.”
“...”
“...”

Aku tak peduli apa yang kau katakan. Detik ketika kau tinggalkan negeri ini ialah detik ketika aku mulai menunggu kepulanganmu. Detik ketika tetes air mata terakhir mengering bukanlah detik ketika aku berhenti menunggu.

4 komentar:

  1. kerent alur ceritanya.. saya sangat terharu dan bisa membayangkan karna sebentar lagi saya akan menjalani seperti cerita ini....

    BalasHapus
  2. thanks gan,.. ceritanya bisa membuatku terharu akan alur kata katanya,.

    BalasHapus
  3. alur ceritanya keren,,kata-katanya juga bagus,jadi terharu baca ceritanya,, :D

    BalasHapus

silahkan meninggalkan pesan :D