Semula
hari begitu cerah, biru yang berawal dengan sisi timur yang berona merah. Namun
semua berubah ketika awan hitam menguasai langit yang gelisah. Perlahan menetes
titik-titik yang kemudian membuat segalanya basah. Ini hujan, ini berkah, namun
mengapa masih banyak orang yang berlari sambil marah-marah? Entahlah.
Hujan
yang rintik-rintik berubah menjadi begitu deras. Nampak seperti singa kelaparan
yang menelan segalanya dengan buas, menelan segalanya dalam kebasahan. Semuanya
berlari dan berteduh. Semuanya, burung-burung, kambing, tukang parkir, penjual
batagor, para pengendara motor, dan aku.
Aku
terjebak di emperan sebuah ruko dalam hujan yang entah kapan berakhir. Lapar,
tentunya menghantui perutku yang semenjak pagi belum juga diisi. Lelah, sudah
jadi kewajiban bagi pelajar yang belajar dengan serius. Pulang, makan, kemudian
beristirahat, itu semua yang bisa ku pikir. Tapi hujan ini tak kunjung
berakhir.
Pagi
yang cerah telah melenakanku, membuatku berpikir bahwa hari akan selamanya
cerah. Payung yang selalu ada di satu sisi pintu terabaikan begitu saja.
Kutapakkan kaki keluar dari pondok pesantren dengan niat menuju rumah sambil
tersenyum, terbayang bahwa aku akan terus menapakkan kaki sambil tersenyum
hingga ke rumah. Tapi hujan ini benar-benar bedebah, datang tiba-tiba dan
menebar berkah tidak pada saat yang ku harapkan.
Bagaimana
aku bisa sampai ke rumah? Haruskah aku berjalan terus menembus hujan dan
membiarkan sekujur tubuhku ditelan dingin yang mungkin saja akan membuatku
sakit? Payung, aku benar-benar membutuhkannya kali ini. Tubuhku ini tak
bertambah kuat meskipun dua tahun sudah aku belajar berdisiplin di pondok
pesantren.
Benar
saja, selulus sekolah dasar, kedua orangtuaku sepakat untuk menyerahkanku ke
pondok pesantren. Mereka berdua berada pada titik dimana kesibukan dan kasih
sayang mereka padaku timbal balik. Ditengah kesibukan mereka berdua mencari
nafkah, mereka tak ingin membuatku terabaikan dan tak mendapat cukup perhatian.
Mereka takut aku akan jatuh pada lubang pergaulan yang salah. Mereka tak ingin
anak tunggal mereka menjadi satu dari sekian remaja yang terombang ambing dalam
ketidak jelasan masyarakat. Maka pesantren menjadi pilihan yang jelas.
Beberapa
tokoh ternama pernah menimba ilmu di pondok pesantren itu. Kondusifitas
lingkungannya untuk melatih akhlak dan kedisiplinan santri-santri sudah
menembus tingkat provinsi. Banyak insan-insan muda yang sengaja dikirim dari
jauh untuk menempa diri disana, berharap mereka akan menjadi senjata yang baik
untuk menyebarkan dakwah pada umat manusia. Banyak orang tua memilih
menyekolahkan anaknya disana, mungkin karena ingin mendapatkan anak saleh yang
akan terus mendoakan mereka setelah mati, mungkin untuk kebaikan umat, atau
mungkin sengaja melepas tangan dari tanggungjawab mengurus anak di rumah.
Terlepas
dari reputasi baik dan betapa disiplinnya, pesantren tetap saja pesantren,
bukan sekolah negeri dimana setiap siang aku bisa kembali ke rumah lalu memeluk
guling setelah menyantap masakan ibu. Pesantren tetap saja pesantren, memberi
jarak pada rumah hingga bunga-bunga rindu rumbuh dan berkembang. Rindu untuk
rumah, hal yang mungkin saja tak ada pada anak-anak seusiaku. Rindu-rindu itu
kadang meledak-ledak hingga air mata terkadang menetes di karpet tempat
santri-santri mengaji di malam hari.
Bunga-bunga
rindu itu perlu ku petik agar durinya tak terlalu menyayat hati. Untuk itu, di
setiap ada kesempatan, di hari Jumat, atau libur pesantren lainnya, aku pulang.
Seperti halnya hari ini, aku pulang. Tapi karena hujan ini, aku disinni,
terjebak dalam ketiadaan payung disisiku. Aku hanya ingin pulang.
Plok.
Sebuah tangan hinggap di pundakku. Gundah, gelisah yang sedikit basah sekejap
redup dalam luapan keterkejutanku.
“Salsa...
hampir saja kau membuat jantungku lepas.”
Seorang
teman baik dari pondok pesantren berdiri sambil menyodorkan sebuah payung ke
arahku. Payung yang terlipat dan masih kering. Disampingnya tergeletak sebuah
payung lain, payung yang basah. Dia tak banyak berkata, mungkin dingin
membuatnya merinding dan kesulitan berkata.
Dia
tak banyak berkata, hanya senyum dan tatap mata. Tapi itu saja sudah cukup. Itu
saja sudah menyampaikan semuanya. Aku tahu bahwa payung itu, kau yang
memberinya.
Seperti
beberapa hari yang lalu ketika aku kehilangan kunci rumahku, sehari sebelum aku
pulang. Salsabilla kemudian datang dan menyodorkan kunci itu. Dia hanya
tersenyum sambil menunjuk satu arah dengan matanya. Di arah yang
ditunjukkannya, aku melihatmu. Kau berdiri di kejauhan, namun aku tahu kau
melihatku, tentu saja dari kejauhan.
Kejadian
seperti itu tidak hanya terjadi sekali. Bukan juga dua kali. Kejadian macam ini
terjadi berkali-kali. Aku dalam kesulitan dan kau datang. Aku hilang dan kau
temukan. Aku kemudian yakin bahwa kau selalu ada. Mungkin tak disini namun kau
melihatku, dari kejauhan.
__
Sungai
yang mengalir. Hujan yang menyisakan dedaunan tetes-tetes air. Jagar raya tak
berhenti berzikir.
Kau
menunjukkanku jalan menuju kebun di hatiku, kebun di mana berbagai pohon dengan
berbagai buah yang memiliki segala rasa tumbuh dan berbuah dengan suburnya. Kau
menunjukan segala buah yang lezat, buah-buah dengan rasa kasih dan sayang. Kau
juga yang selalu melarangku memakan buah-buah beracun, buah dengan rasa dengki,
iri, dan prasangka.
Namun
pada akhirnya kau sisakan sebuah pohon dengan buah yang entah itu baik atau
buruk. Buah itu terlanjur ku makan. Buah itu buah rindu.
Rindu
itu kamu. Bukan. Rindu itu rasa yang Tuhan hembuskan ke hatiku setiap saat aku
mengingatmu. Rindu itu angin semilir yang perlahan menyayat imanku yang lemah
setiap hari, setiap menit, setiap waktu.
Kamu
yang memperkenalkan aku pada lelaki. Kau membuatku merasa menjadi wanita walau
kau yang selalu ingatkan aku bahwa semua belum saatnya. Aku gadis kecil yang
berjalan beriringan dengan waktu. Aku gadis kecil yang kemudian menemukanmu tak
lagi di sekitarku.
Mesir
itu penuh padang pasir, itu yang ku pikir. Namun tak ada bedanya pasir dan air,
tiap butirnya tak pernah lupa berzikir. Hal yang ku risaukan bukan kilafnya
pasir, melainkan kilafnya manusia.
“Apa
benar kau harus pergi?” tanyaku padamu yang hanya datang untuk berpamitan.
“Benar,
merupakan tanggungjawab kita untuk terus mencari dan memanfaatkan ilmu di dunia
ini.” Jawabanmu terlalu diplomatis, rasanya penuh pemanis. Nada bicaramu lembut
namun terdengar sadis, mataku tak bisa lagi menahan tangis.
Mataku
yang mulai berkunang-kunang tak berhenti memandangmu. Walau yang kulihat
hanyalah matamu yang terus menatap segala hal kecuali aku, aku tetap menatapmu.
Dari sinar matamu, aku bisa melihat betapa bulat tekadmu. Kau bahkan tak berani
menatapku karena tekadmu itu. Perempuan macam apa aku ini bila menghancurkan
tekad bulat lelaki yang kucintai? Maka ku relakan kau pergi. Aku tak rela pun,
kau tetap pergi.
“Aku
akan menunggumu.”
“Jangan.”
“Kenapa?”
“...”
“Kenapa?”
“Harimu
masih pagi, apa kau akan menanti sore hanya untuk menunggu ketidak pastian
dariku?”
“Iya.”
“Jangan,
aku mungkin tak akan kembali.”
“Aku
tetap menunggumu.”
“Jangan.”
“...”
“...”
Aku
tak peduli apa yang kau katakan. Detik ketika kau tinggalkan negeri ini ialah
detik ketika aku mulai menunggu kepulanganmu. Detik ketika tetes air mata
terakhir mengering bukanlah detik ketika aku berhenti menunggu.
kerent alur ceritanya.. saya sangat terharu dan bisa membayangkan karna sebentar lagi saya akan menjalani seperti cerita ini....
BalasHapusthanks gan,.. ceritanya bisa membuatku terharu akan alur kata katanya,.
BalasHapusalur ceritanya keren,,kata-katanya juga bagus,jadi terharu baca ceritanya,, :D
BalasHapusmantap sekali
BalasHapusNasi Kotak Semarang